Kamis, 11 Oktober 2012

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP SEMANGAT DAN KINERJA ANGGOTA ORGANISASI


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah

Dengan realita yang terjadi di Indonesia, bahwa kurangnya rakyat Indonesia yang memiliki jiwa kepemimpinan. Kita bias melihat dengan apa yang terjadi saat ini, bahwa sangat banyak rakyat Indonesia yang menyala gunakan kekuasaannya untuk memuaskan kepentingan pribadinya. Diantar indikasi adalah; pertama,  minimnya pembelajaran untuk para pemuda tentang apa arti sesungguhnya dari kepemimpinan tersebut, walaupun ada pembelajaran tersebut, tapi hanya organisasi-organisasi tertentu saja yang mempelajari hal tersebut. Kedua, materi kepemimpinan tidak di masukan ke kurikulum lembaga pendidikan, yang mengakibatkan seakan-akan materi kepemimpinan tidak terlalu penting dalam menjalani seluru aktivitas. Ketiga, kurangnya minat masyarakat dalam mempelajari materi-materi kepemimpinan. Dengan kurangnya jiwa kepemimpinan di Indonesia yang mengakibatkan berimbasnya ke gaya kepemimpinan yang kurang maksimal.


Oleh sebab itu, sangat pentingnya dilakukan penelitian tentang jiwa kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam suatu organisasi. Dari situ kita bias mengetahui apakah rakyat Indonesia masih memiliki jiwa kepemimpinan dan gaya kepemimpinan yang baik ataukah hal tersebut hanya menjadi isapan jempol.


B.    Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang telah dijabarkan, bahwa dapat dirumuskan masalah sebagai berikut; bagaimana cara organisasi untuk dapat memilih dan melihat orang yang memiliki jiwa kepemimpinan tersebut dan bagaimana cara organisasi untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan demi untuk mencapai visi dan misi, dan untuk memperbaiki gaya kepemimpinan.

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang pengaruh gaya kepemimpinan terhadap semangat dan kinerja anggota kerukunan pelajar mahasiswa Buol Yogyakarta (KPMB-Y). selain itu dengan penelitian tersebut, bisa terlihat dampak positif dan negatif terhadap yang ditimbulkan jika seandainya gaya kepemimpinan baik maupun kurang baik.
D.   Manfaat Penelitian
Yang bisa diambil dari penelitian tersebut adalah betapa berpengaruhnya jiwa kepemimpinan terhadap gaya kepemimpinan untuk memimpin suatu organisasi. Dengan begitu dapat menyadarkan suatu organisasi untuk menciptakan suatu pemimpin yang adil dan berjiwa tegas dalam memimpin suatu organisasi. Selain itu dampak yang diperoleh oleh bukan hanya dinikmati oleh organisasi saja, tapi dapat dirasakan oleh orang disekitar dan lebih tepatnya rakyat Indonesia.


BAB II
LANDASAN TEORI
A.   Landasan Teori
Kepemimpinan yang efektif merupakan persyaratan vital bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan organisasi atau perusahaan. Kepemimpinan itu dikatakan efektif atau tidak  tergantung dari gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin. Karena sudah jelas bahwa gaya kepemimpinan akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap efektivitas kepemimpinan nya.
Telah banyak ahli mendefinisikan tentang pengertian gaya kepemimpinan, diantaranya adalah Effendi (2002:28), berpendapat bahwa “ Gaya Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin melaksanakan kegiatannya dalam upaya membimbing, memandu, mengarahkan dan mengontrol pikiran, perasaan, atau perilaku seseorang atau sejumlah orang untuk mencapai tujuan tertentu”.
Kemudian Flippo dalam Heidjrahman dan Husnan (2000:224), mengatakan bahwa : “ Gaya Kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Dari kedua definisi tersebut dapat diambil pengertian yang sama, bahwa gaya kepemimpinan ialah perilaku seorang pemimpin dalam usaha mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.




B.    Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis diantaranya :
Penelitian yang dilakukan oleh Ringga Arie Suriyadi pada tahun 2008, dengan judul “Pengaru gaya kepemimpinan dan motifasi terhadap kinerja kariawan pada PT. Luxindo Raya”. Disitu dejelaskan bahwa Keberhasilan dari pencapaian tujuan yang diinginkan tidak hanya ditentukan oleh kepribadian, kecakapan, serta kemampuan seorang pemimpin saja, tapi ada satu hal yang sangat berpengaruh yaitu penerapan suatu model atau gaya kepemimpinan sebagai simbol dari seorang pemimpin untuk melaksanakan fungsi dan perannya yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi lingkungan internal organisasinya terutama bagi para karyawannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Iis Torisa Utami SE,MM pada tahun 2009, demgan judul “Pengaruh gaya kepemimpinan transpormasional terhadap motivasi kerja kariawan pada PT. Trade Servis Tama Indonesia-Tangerang”. Disitu dijelaskan bahwa, Permasalahan yang dihadapi oleh beberapa perusahaan adalah masalah pengelolaan pengembangan sumber daya manusia khususnya dalam peningkatan karier, dimana karier merupakan hal yang sangat penting untuk mendorong karyawan dalam meningkatkan kemampuan di bidangnya, oleh karena itu untuk dapat mempengaruhi para pengikutnya diperlukan suatu gaya kepemimpinan tertentu, dimana gaya kepemimpinan yang dimiliki seorang pemimpin di perusahaan berbeda-beda.

C.    Perumusan Hipotesis
1. Proposisi, Hipotesis, Variabel dan Dimensi
Jenis Penelitian Ilmiah vs Perumusan Hipotesis
Penelitian yang TIDAK MEMERLUKAN perumusan dan pengujian HIPOTESIS:
• Deskripsi/Eksploratori: menggambarkan/menjelaskan suatu fenomena
• Rancang Bangun: pembuatan/penerapan/analisis suatu alat/teknologi/sistem
Penelitian yang MEMERLUKAN perumusan dan pengujian HIPOTESIS:
• Eksperimental: pengujian hipotesis secara empirik
Eksperimen = Experiment = Percobaan: setiap proses yang menghasilkan data
Proposisi: Pernyataan yang menjelaskan kebenaran atau menyatakan perbedaan atau hubungan antara beberapa konsep
Jenis Proposisi:
a. Aksioma atau Postulat: kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah (dapat) dibuktikan kebenarannya
b. Teorema: Dideduksi (disimpulkan) dari (beberapa) aksioma. Teorema dapat saja dibangun dari aksioma-aksioma yang berbeda
Proposisi dan Hipotesis kadangkala sulit dibedakan.
Perbedaan paling esensial di antara keduanya adalah bahwa:
• Hipotesis bersifat lebih operasional
• Konsep-konsep dalam hipotesis sudah dioperasionalisasikan menjadi variabel
• Hipotesis sudah dapat diuji secara empirik.
Variabel: sesuatu yang mempunyai variasi nilai
Variabel dapat didetailkan menjadi dimensi
Hipotesis berasal dari kata Hypo + Thesis (Latin)
• Hypo: Sebelum
• Thesis: Dalil, Teorema
Hipotesis: Pernyataan yang kebenarannya harus diuji terlebih dahulu sebelum diterima menjadi teorema atau dalil
Secara awam Hipotesis = Pernyataan sementara
Proses pengujian hipotesis menjadi tulang belakang pembuatan alat ukur, pengumpulan data dan proses pengolahan, analisis dan interpretasi data dalam penelitian Eksperimental
2. Jenis Pengujian Hipotesis
Statistika menjadi alat pengujian Hipotesis
Dalam Statistika, pengujian hipotesis dibedakan menjadi:
a. Uji Beda (Rata-Rata)
b. Uji Hubungan antar Variabel
b.1. Uji Hubungan Simetris (Korelasi)
b.2. Uji Hubungan Berarah/Direksional (Pengaruh)
Pengujian Hipotesis secara statistiska memerlukan pembentukan Hipotesis Nol (H0) dan Hipotesis Alternatif (H1).
Hipotesis Nol (H0):
Pernyataan yang menjadi dasar pembanding
Secara matematik, Hipotesis Nol (H0) ditulis dalam bentuk persamaan (“=”)
H0 harus menyatakan tidak ada perbedaan atau tidak ada hubungan
2
Hipotesis Alternatif (H1):
Pernyataan yang menjadi altenatif H0
Secara matematik, Hipotesis Alternatif (H1):ditulis dalam bentuk pertidak-samaan (“≠. <, >”)
H1 menyatakan ada perbedaan atau ada hubungan
Pada prinsipnya pengujian hipotesis adalah:
• penerimaan H0 atau
• penolakan H0 yang menyebabkan penerimaan H1
(Pembahasan detail akan dijelaskan pada Bab Pengolahan dan Analisis Data)
Kebenaran Hipotesis bersifat tidak mutlak, sangat tergantung dari kebenaran teori pendukung dan kesempurnaan pengambilan sampel yang mewakili seluruh populasi.
Jadi penerimaan atau penolakan Hipotesis bukanlah persoalan kebenaran, tapi lebih pada persoalan cukup bukti yang mendukung atau tidak.
Suatu hipotesis DITERIMA karena dari sampel yang digunakan tidak terdapat cukup bukti untuk menolak hipotesis itu dan BUKAN karena hipotesis itu BENAR
Suatu hipotesis DITOLAK karena dari sampel yang digunakan tidak terdapat cukup bukti untuk menerima hipotesis itu dan BUKAN karena hipotesis itu SALAH
Kalau memang diinginkan memperoleh kebenaran mutlak, maka penelitian harus mencakup keseluruhan pengamatan (populasi), sesuatu yang sangat mahal dan membutuhkan ketelitian dan waktu yang panjang
3. Pembentukan Hipotesis
Pembentukan Hipotesis tergantung dari jenis uji hipotesis yang digunakan
Hipotesis pada Uji Beda (Rata-Rata)
a. H0: Tidak ada perbedaan rata-rata
semua (rata-rata) bernilai sama (“=”)
H1: Ada perbedaan rata-rata
Ada suatu (rata-rata) yang nilainya tidak sama (“≠”)
b. H0: Tidak ada perbedaan rata-rata
semua (rata-rata) bernilai sama (“=”)
H1: Ada perbedaan rata-rata
Ada suatu (rata-rata) yang nilainya lebih kecil (“<”) dari yang lain
3
c. H0: Tidak ada perbedaan rata-rata
semua (rata-rata) bernilai sama (“=”)
H1: Ada perbedaan rata-rata
Ada suatu (rata-rata) yang nilainya lebih besar (“>”) dari yang lain
Hipotesis pada Uji Hubungan antar Variabel
Dalam statistika, keeratan hubungan antar variabel dinyatakan dalam Koefisien Korelasi Linier (Pearson’s product moment) = R
Hubungan Linier = hubungan langsung
Nilai R berada di antara − 1 sampai + 1 atau −1 ≤ R ≤ +1
Nilai R = + 1 atau R = − 1 menandai suatu hubungan sempurna, kondisi ideal ini hampir-hampir tidak mungkin ditemukan dalam kenyataan sehari-hari
Nilai R = 0 menandai suatu hubungan yang sama sekali tidak ada, nilai inilah yang menjadi nilai pada Hipotesis Nol (H0 )
Nilai R mendekati −1 atau R mendekati +1 menandai hubungan yang kuat
Tanda (+) dan (−) bermakna hanya pada Uji Hubungan Direksional (berarah) atau uji Pengaruh, tidak bermakna pada uji Hubungan Simetris
Hipotesis pada Uji Hubungan Simetris (Korelasi)
H0: Tidak ada hubungan antar variabel
R = 0
H1: Ada hubungan antar variabel
R ≠ 0
Hipotesis pada Uji Hubungan Berarah (Pengaruh)
Pada pengujian hubungan direksional (pengaruh)
Tanda (+) dan (−) pada R menjadi sangat berarti
Dalam uji ini variabel dibedakan menjadi:
a. Variabel yang mempengaruhi = Variabel Penyebab = Variabel Bebas = Independent Variable Dinotasikan sebagai X
b. Variabel yang dipengaruhi = Variabel Akibat = Variabel Tidak Bebas = Dependent Variable Dinotasikan sebagai Y
4
Hipotesis pada Uji Hubungan Berarah (Pengaruh)
a. H0: Variabel Bebas (X) tidak berpengaruh terhadap Variabel Tidak Bebas (Y)
R = 0
H1: Variabel Bebas (X) berpengaruh terhadap Variabel Tidak Bebas (Y)
R ≠ 0
b. H0: Variabel Bebas (X) tidak berpengaruh terhadap Variabel Tidak Bebas (Y)
R = 0
H1: Variabel Bebas (X) berpengaruh positif terhadap Variabel Tidak Bebas (Y)
R > 0
c. H0: Variabel Bebas (X) tidak berpengaruh terhadap Variabel Tidak Bebas (Y)
R = 0
H1: Variabel Bebas (X) berpengaruh negatif terhadap Variabel Tidak Bebas (Y)
R < 0
Nilai R positif (R > 0) menunjukkan hubungan (atau pengaruh) positif, artinya jika nilai X naik, maka nilai Y juga naik
Nilai R negatif (R < 0) menunjukkan hubungan (atau pengaruh) negatif, artinya jika nilai X naik, maka nilai Y turun
Ukuran Pengaruh adalah Koefisien Determinasi (R2) di mana R2 = R X R
Koefisien Determinasi (R2) adalah ukuran keragaman total nilai variabel tidak bebas (Y) yang dapat dijelaskan secara langsung (linier) oleh variabel bebas (X).
4. Temuan Riset Terdahulu
Riset yang dilakukan oleh Iis Torisa Utami SE,MM dengan judul Pengaruh gaya kepemimpinan transpormasional terhadap motivasi kerja kariawan pada PT. Trade Servis Tama Indonesia-Tangerang. Riset tersebut menggambarkan sebagai berikut :
Dari hasil uji validitas dan reliabilitas dari variable gaya kepemimpinan transformasional dapat dinyatakan memiliki tingkat validitas yang sangat tinggi yaitu sebesar 0,687 dan yang paling rendah yaitu 0,368, sedangkan hasil uji reliabilitas didapat nilai Alpa Cronbach sebesar 0,822. Karena angka tersebut jauh diats 0,60 maka dapat disimpulkan bahwa variable gaya kepemimpinan transformasional dapat dinyatakan handal. Selanjutnya Hasil uji validitas dan reliabilitas dari motivasi kerja karyawan dapat dinyatakan kehandalannya dengan nilai instrument sebesar 0,857 dan nilai instrument terendah sebesar 0,460. Berdasarkan hal tersebut maka variable gaya kepemimpinan transformasional dan motivasi kerja karyawan dapat dinyatakan valid.
Selanjutnya hasil analisis korelasi dan regresi bahwa hubungan gaya kepemimpinan transformasional terhadap motivasi kerja karyawan memiliki hubungan yang sangat kuat sebesar 0,542 atau 54,2% dengan tingkat signifikan sebesar *0,002 dimana tingkat signifikan tersebut lebih kecil dari alpha (α) 0,05 artinya gaya kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang sangat kuat atau signifikan dan positif terhadap motivasi kerja karyawan, hal ini menunjukkan bahwa adanya interaksi antara pimpinan dan bawahan dalam mengwujudkan visi dan memotivasi karyawan untuk bekerja bersama-sama mencapai tujuan yang hendak dicapai serta memahami kebutuhan-kebutuhan dari pada para karyawannya(lihat tabel 1). Hasil penelitian ini sesuai dengan jurnal bisnis dan ekonomi, September 2003, hal 3, yang menyatakan gaya kepemimpinan transformasional memotivasi bawahannya dengan cara; (1) membuat para bawahan lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu Pekerjaan; (2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi dari pada diri sendiri; (3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan dari hasil perhitungan uji t diperoleh nilai kostanta sebesar -2,085 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,048, dan untuk variable gaya kepemimpinan transformasional uji t sebesar 3,458 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,002, hal ini menyatakan bahwa secara parsial gaya kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan. Lihat tabel 2 berikut ini :
Selanjutnya dari hasil perhitungan uji ANOVA atau F test menghasilkan nilai F hitung sebesar 26,168 dengan tingkat signifikansi 0,000, maka model regresi dapat dinyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh secara simultan terhadap motivasi kerja karyawan, lihat tabel 3. Hal ini terbukti bahwa kepemimpinan memiliki kaitan yang sangat erat dengan motivasi kerja karyawan, karena karyawan yang memiliki motivasi dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan mampui memberikan kontribusi yang baik sesuai harapan pimpinan sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, pernyataan inisebagai karena keberhasilan seorang pemimpin adalah dapat menggerakkan orang lain (bawahan) dalam mencapai tujuan, sehingga seorang pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahannya tetapi pemimpin harus dapat Pernyataan ini sebagaimana disampaikan oleh Wahjosimidjo,1993:172, kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi, karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain sangat tergantung kepada kewibawaan dan bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap karyawan sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Berdasarkan paparan tersebut maka secara nyata variable gaya kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh secara parsial terhadap motivasi kerja karyawan, tetapi secara simultan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap motivasi kerja karyawan, hal ini berarti bahwa karyawan sangat membutuhkan dorongan atau motivasi dari para pimpinan dalam mengwujudkan impian atau cita-citanya dimasa yang akan datang melalui program pelatihan yang diadakan baik oleh perusahaan maupun pelatihan atau pendidikan yang timbul dalam diri/individual karyawan, sehingga terbentuk sinergi yang dapat meningkatkan produktifitas perusahaan.

Kesimpulan
1. Gaya kepemimpinan transformasional secara parsial berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan, dimana variable gaya kepemimpinan sebesar 54,2% dan tingkat signifikansi sebesar 0,002 sehingga dapat disimpulkan bahwa variable gaya kepemimpinan memilihi hubungan yang positif dan signifikan terhadap motivasi kerja karyawan.
2. Gaya kepemimpinan transformasional secara simultan berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan, karena memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,000 dan F hitung 26,168.
3. Gaya kepemimpinan transformasional sangat cocok diterapkan dilingkungan perusahaan , karena terbukti dapat meningkatkan motivasi karyawan dan menumbuhkan rasa percaya diri karyawan terhadap komitmen pimpinan yang selalu peduli terhadap kebutuhan karyawan.

Loyalitas dan Sikap Kerja Karyawan



Manajemen Sumber Daya manusia. Didalam kamus bahasa Indonesia menjelaskan sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian (Wjs. Poerwadarminta,2002:944).
Sedangkan kerja adalah melakukan sesuatu (Wjs. Poerwadarminta, 2002:492). Menurut pengertian dari Agus Maulana, sikap kerja karyawan adalah cara kerja karyawan didalam mengkomunikasikan suasana karyawan kepada pimpinan ataupun perusahaan. Karyawan merasakan adanya kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan.
Loyal adalah patuh, setia (Wjs. Poerwadarminta, 2002:609). Dari pengertian diatas, kesimpulannya adalah suatu kecenderungan karyawan untuk pindah ke perusahaan lain. Apabila karyawan bekerja pada suatu perusahaan, dan perusahaan tersebut telah memberikan fasilitas – fasilitas yang memadai dan diterima oleh karyawannya, maka kesetiaan karyawan terhadap perusahaan akan semakin besar, maka timbul dorongan yang menyebabkan karyawan melakukan pekerjaan menjadi lebih giat lagi.

Fasilitas–fasilitas yang diterima oleh karyawan sehingga karyawan mau bekerja sebaik mungkin dan tetap loyal pada perusahaan, hendaknya perusahaan memberikan imbalan yang sesuai kepada karyawannya. Semua itu tergantung pada situasi dan kondisi perusahaan tersebut serta tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu perusahaan mengemukakan beberapa cara:
a. Gaji yang cukup
b. Memberikan kebutuhan rohani.
c. Sesekali perlu menciptakan suasana santai.
d. Menempatkan karyawan pada posisi yang tepat.
e. Memberikan kesempatan pada karyawan untuk maju.
f. Memperhatikan rasa aman untuk menghadapi masa depan.
g. Mengusahakan karyawan untuk mempunyai loyalitas.
h. Sesekali mengajak karyawan berunding.
i. Memberikan fasilitas yang menyenangkan. (Nitisemito, 1991:167

Sebab – sebab turunnya loyalitas dan sikap kerja itu dikarenakan banyak sebab misalnya, upah yang mereka terima tidak sesuai dengan pekerjaannya, tidak cocoknya dengan gaya perilaku pemimpin, lingkungan kerja yang buruk dan sebagainya. Untuk memecahkan persoalan tersebut, maka perusahaan harus dapat menemukan penyebab dari turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan itu disebabkan pada prinsipnya turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan itu disebabkan oleh ketidakpuasan para karyawan. Adapun sumber ketidakpuasan bisa bersifat material dan non material yang bersifat material antara lain: rendahnya upah yang diterima, fasilitas minimum. Sedangkan yang non material
antara lain: penghargaan sebagai manusia, kebutuhan – kebutuhan yang berpartisipasi dan sebagainya (S. Alex Nitisemito, 1991:167).

Indikasi – indikasi turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan
antara lain
1. Turun/ rendahnya produktivitas kerja.
Turunnya produktivitas kerja ini dapat diukur atau diperbandingkan dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi karena kemalasan atau penundaan kerja
2. Tingkat absensi yang naik.
Pada umumnya bila loyalitas dan sikap kerja karyawan turun, maka karyawan akan malas untuk datang bekerja setiap hari. Bila ada gejala – gejala absensi naik maka perlu segera dilakukan penelitian.
3. Tingkat perpindahan buruh yang tinggi.
Keluar masuknya karyawan yang meningkat tersebut terutama adalah karena tidak senangnya para karyawan bekerja pada perusahaan. Untuk itu mereka berusaha mencari pekerjaan lain yang dianggap sesuai. Tingkat perpindahan buruh yang tinggi selain dapat menurunkan produktivitas kerja, juga dapat mempengaruhi kelangsungan jalannya perusahaan.
4. Kegelisahan dimana – mana.
Loyalitas dan sikap kerja karyawan yang menurun dapat menimbulkan kegelisahan sebagai seorang pemimpin harus mengetahui bahwa adanya kegelisahan itu dapat terwujud dalam bentuk ketidak terangan dalam bekerja, keluh kesah serta hal – hal yang lain.
5. Tuntutan yang sering terjadi.
Tuntutan yang sebetulnya merupakan perwujudan dan ketidakpuasan, dimana pada tahap tertentu akan menimbulkan keberanian untuk mengajukan tuntutan.
6. Pemogokan.
Tingkat indikasi yang paling kuat tentang turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan adalah pemogokan. Biasanya suatu perusahaan yang karyawannya sudah tidak merasa tahan lagi hingga memuncak, maka hal itu akan menimbulkan suatu tuntutan, dan bilamana tuntutan tersebut tidak berhasil, maka pada umumnya para karyawan melakukan pemogokan kerja. (S. Alex Nitisemito,1991:163 – 166).

Pada kategori usia para karyawan yang berbeda menunjukkan aksentuasi loyalitas yang berbeda pula seperti uang diuraikan berikut ini:
a.     Angkatan kerja yang usianya di atas lima puluh tahun menunjukkan loyalitas yang tinggi pada organisasi. Mungkin alasan – alasan yang menonjol ialah bahwa mereka sudah mapan dalam kekaryaannya, penghasilan yang memadai, memungkinkan mereka menikmati taraf hidup yang dipandangnya layak. Banyak teman dalam organisasi, pola karirnya jelas, tidak ingin pindah, sudah “terlambat” memulai karier kedua, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan memasuki usia pensiun. Seperti yang terdapat dalam perusahaan UD. DUTA
RASA, dalam perusahaan ini ada beberapa karyawan tetapnya adalah karyawan dengan umur sekitar 50an dan sudah bekerja cukup lama dalam perusahaan sedangkan para karyawan kontraknya adalah karyawan yang masih muda.
b.    Tenaga kerja yang berada pada kategori usia empat puluhan menunjukkan loyalitas pada karir dan jenis profesi yang selama ini ditekuninya. Misalnya, seseorang yang menekuni karir di bidang keuangan akan cenderung “ bertahan” pada bidang tersebut meskipun tidak berarti menekuninya hanya dalam organisasi yang sama. Karena itu pindah ke profesi lain, tetapi bergerak di bidang yang sama, bukanlah merupakan hal yang aneh. Barangkali alasan pokoknya terletak pada hasrat untuk benar – benar mendalami bidang tertentu itu karena latar belakang pendidikan dan pelatihan yang pernah ditempuh, bakat, minat, dan pengalaman yang memungkinkannya menampilkan kinerja yang memuaskan yang pada gilirannya membuka peluang untuk promosi, menambah penghasilan, dan meniti karir secara mantap.
c.    Tenaga kerja dalam kategori 30 – 40 tahun menunjukkan bahwa loyalitasnya tertuju pada diri sendiri. Hal ini dapat dipahami karena tenaga kerja dalam kategori ini masih terdorong kuat untuk memantapkan keberadaannya, kalau perlu berpindah dari satu organisasi ke organisasi lain dan bahkan mungkin juga dari satu profesi ke profesi lain. Di samping itu pula didukung oleh tingkat kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat tetapi tidak diimbangi dengan pemasukan yang cukup sehingga banyak para pekerja yang mencari pekerjaan lain yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari.
d.    Bagi mereka yang lebih muda dari itu, makna loyalitas belum diserapi dan kecenderungan mereka masih lebih mengarah kepada gaya hidup santai, apabila mungkin disertai dengan kesempatan “berhura – hura” Pada kenyataan sehari – hari banyak sekali terjadi kecurangan – kecurangan yang dilakukan oleh para karyawan yang umumnya mempunyai umur relatif muda hal itu juga dipicu oleh tingkat angan – angan yang tinggi, tetapi tidak diiringi oleh tingkat kerajinan yang tinggi dari dalam dirinya sendiri, oleh karena itu tingkat penganggguran semakin lama semakin meningkat (S. Alex Nitisemito, 1991:170-171).

PERUBAHAN YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MEREDAM PERTIKAIAN ANTARA POLRI DAN KPK



Seperti yang terjadi pada saat ini, kita sering melihat pemberitaan di TV antara Polri dan KPK. Ini sebenarnya tidak harus terjadi, karena kedua institusi tersebut memiliki misi yang sama yaitu menjaga keamana dan kenyamana terhadap Negara ini. Namun malah sebaliknya, mereka saling bertikai dan saling serang. Seakan-akan kedua institusi tersebut saling mencari pencitraan dalam masalah tersebut, dengan demikian dapat terlihat bahwa mereka takut jika dalam konflik tersebut ada yang kalah. Karena akan menurunkan popularitas mereka berdua. Dan kasus tersebut tidak ada bedanya dengan para artis dan actor yang sedang mencari pencitraan.

Seharusnya kedua institusi tersebut harus saling berkerja sama untuk memberantas yang menggangu keamanan di Negeri ini. Dan secara otomatis ada yang diuntungkan dalam konflik ini, Tentu saja pihak yang sedang bermasalah dengan hukum dan para koruptor  ini akan tertawa ketika melihat kasus KPK versus Polri berlarut- larut.

Konflik itu muncul pascapengungkapan kasus dugaan korupsi proyek simulator di Korps Lalu Lintas Polri. Konflik semakin meruncing ketika Kepolisian hendak menangkap anggotanya yang bertugas di KPK, Disinilah akar mulanya malsalah tersebut. Konflik tersebut seakan-akan mengingatkan kita terhadapa kasus cicak VS buaya yang selalu berbelit-belit tanpa jalan tengah dalam kasus tersebut. Dan kasus yang terjadi saat ini mengakibatkan adanya lagi seri terbaru antara cicak VS buaya, dan drama ini mungkin akan sangat seru karena kedua belah bihak tersebut saling merubut posisi peran utama dalam darama ini.

Harus diadakannya suatu perubahan untuk mengatasi hal tersebut, karena tanpa diadakannya perubahan mungkin akan terjadi lagi cicak VS buaya seri terbarunya lagi. Salasatu yang harus di ubah adalah bagai mana menghilangkan rasa ego yang menggorogoti kedua belah pihak tersebut. Karena rasa ego yang berlebihan akan membuat masalah-masalah tersebut semakin sulit dan tidak ada titik temunya. 

Rabu, 10 Oktober 2012

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA YANG TERJADI DI INDONESIA KARENA ADANYA ERA GLOBALISASI



     Sebelum kita membahas sosial budaya dan globalisasi kita harus mengetahui sosial, budaya dan globalisasi itu sendiri. istilah "sosial" berasal dari kata bahasa latin Socius, yang artinya berkawan atau masyarakat. sosial memiliki arti umum yaitu kemasyarakatan dalam arti sempit mendahulukan kepentingan bersama atau masyarakat. Dan budaya adalah suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan dipegang teguh secara bersama oleh semua anggota organisasi maupun kelompok masyarakat dalam pelaksanaan pekerjaan yang ada dalam organisasi tersebut. jadi kesimpulannya, bahwa sosial budaya tersebut adalah segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan pemikiran dengan budi nuraninya untuk atau dalam kehidupan bermasyarakat. sedangkan globalisasi adalah suatu proses dimana antara individu, antara kelompok, dan antara negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.


          Dengan adanya era globalisasi yang ada di Indonesia sedikit demi sedikit mengikis sosial budaya yang ada di Indonesia. Contoh riil nya adalah para remaja atau anak mudah tidak mau lagi belajar atau mencari tau tentang budaya dan tradisi yang ada di daerahnya masing-masin, selain itu banyak para gadis remaja yang memakai pakaian-pakaian yang tidak sopan atau tidak sesuai dengan budaya yang selama ini mereka anut. Itu semua karena adanya pengikisan dari budaya-budaya luar yang mereka ikuti.


          Karena kurangnya penyaringan terhadap informasi yang masuk ke Indonesia yang mengakibatkan sosial budaya yang ada di Indonesia mulai ter kikis sedikit demi sedikit. Dan selama ini pemerintah belum terlihat melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi hal-hal tersebut. Mereka tidak menyadari betapa pentingnya sosial budaya tersebut dalam suatu bangsa, padahal sosial budaya tersebut adalah karakter suatu bangsa. Sangat ironis, jika seandainya sosial budaya tersebut sedikit demi sedikit akan hilang. Maka Indonesia tidak memiliki karakter lagi sebagai suatu bangsa.


          Maka sebap itu, marilah kita sebagai orang yang perduli terhadap Indonesia bangkit ! lihat yang disekitar mu dan ubahlah hal-hal yang menurut kalian bisa menghilangkan sosial budaya yang ada di Indonesia walaupun itu hanya sebagian kecil. Karena hal yang besar bermula dari hal yang kecil. Dan kalo bukan kita yang mengubah siapa lagi yang mengubahnya.